Rabu, 22 Desember 2010

Status Keragaman Genetik Ulin

STATUS KERAGAMAN GENETIK ULIN (Eusideroxylon zwageri ) DAN IMPLIKASI KONSERVASINYA

Ridahati Rambey1)

1)Mahasiswa Pascasarjana Mayor Silvikultur Tropika Fakultas Kehutanan IPB

PENDAHULUAN

Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo (dulunya Zaire) dan hutan-hutan ini memiliki kekayaan hayati yang unik. Luas daratan Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan permukaan bumi, keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya luar biasa tinggi, meliputi 11 persen spesies tumbuhan dunia, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung. Sebagian besar dari spesies ini berada di dalam hutan-hutan Indonesia (Barber, et.al, 2002). Salah satu spesies tumbuhan endemic Indonesia adalah pohon ulin (Eusideroxylon zwageri).

Pohon Ulin (Eusideroxylon zwageri) merupakan jenis favorit untuk perdagangan lokal maupun ekspor (Hakim dan Prastyono, 2005). Kayu Ulin dengan nama lain kayu besi merupakan tanaman khas Kalimantan. Kayu ulin mempunyai kelas awet 1 dan kelas kuat 1 sejak dahulu sangat diminati untuk bahan kontruksi terutama pada daerah yang terendam air (jembatan, dermaga) (Balitbang Kehutanan Samarinda, 2004).

Degradasi hutan Indonesia terus berlanjut, dengan demikian maka Indonesia terancam kehilangan sumberdaya genetik pohon hutan yang sangat bermanfaat untuk generasi yang akan datang. Kegiatan eksploitasi hutan alam yang bersifat ekstraktif guna memenuhi kebutuhan manusia menyebabkan kemerosotan secara kualitas maupun kuantitas sumberdaya hutan pada level genetik, jenis maupun ekosistem, tidak terkecuali ulin. Ulin merupakan salah satu jenis pohon yang hampir punah sebagai akibat dari tingginya laju penebangan yang dilakukan secara legal maupun illegal oleh masyarakat maupun perusahaan pemegang HPH.

Penulis berharap, Informasi mengenai ulin ini dapat menambah wacana dalam rangka konservasi genetik kayu ulin di masa mendatang. Potensi kayu ulin perlu dikembangkan secara lestari baik dengan cara konservasi insitu maupun eksitu.

DESKRIPSI

Tanaman ulin pada umumnya memiliki diameter batang antara 60-120 cm, sedangkan tinggi batang pada umumnya berkisar antara 20-30 m. Batang tanaman ulin biasanya tumbuh lurus, tajuk pohon tanaman ulin berbentuk bulat, rapat dan melebar, susunan daun ulin beselang- seling, daun muda berwarna merah dan setelah tua berwarna hijau (Fakhrurazi, 2009).

a. Bioekologi

Ulin termasuk dalam family Lauraceae, dengan nama lain ironwood (Inggris), belian (Malaysia), tambulian (Philifina) Persyaratan tumbuhnya di daerah yang memiliki curah hujan dengan tipe iklim A dan B (Schmith & Ferguson, 1951) dengan intensitas curah hujan 2500 mm-4000 mm/th dengan ketinggian tempat 5 m- 400m dpl. Jenis ini dapat tumbuh di tanah berpasir atau tanah liat. Hasil Penelitian Nuugroho (2010) Ulin mampu tumbuh pada tanah yang tingkat kesuburannya rendah (pH, KTK, KB, N, P, K, C/N, K, Ca, Mg, Na rendah dan kandungan Al yang tinggi).

Ulin biasanya tumbuh secara menyebar atau mengelompok dengan kanopi dominan dan juga ditemui sebagai tegakan tersendiri. Ulin biasanya ditemukan berasosiasi dengan jenis-jenis koompasia, shorea dan intsia (Hakim dan Prastyono, 2005).

Penyebaran jenis pohon ulin meliputi pulau Sumatera yaitu propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Pulau Kalimantan. Di Luar Indonesia ulin terdapat pula di Malaysia (Serawak, Semenanjung Malaysia, Sabah dan Brunei Darussalam), kepulauan Sulu dan Pilipina (Pulau Palawan) (Fakhrurazi, 2009).

b. Kegunaan

Kayu ulin termasuk pohon yang berdaun sepanjang musim. Ketahanan kayu yang merupakan kelas awet 1 dan kelas kuat 1 sejak dahulu sangat diminati untuk bahan kontruksi terutama pada daerah yang terendam air (jembatan, dermaga), selain itu dipakai sebagai papan, sirap dan bagian bangunan lainnya (Balitbang Kehutanan, Samarinda. 2004).

c. Regenerasi

Regenerasi alami biasanya terbatas pada areal dekat pohon induknya. Anakan ulin yang terdapat di hutan tropis yang tertutup oleh kanopi biasanya dapat bertahan hidup dan jarang mati. Regenerasi anakan ulin sangat rendah pada hutan bekas tebangan, sehingga diperlukan campur tangan manusia untuk melakukan permudaan buatan. Keterbatasan jumlah biji menyebabkan biaya penanaman yang mahal dan pembuatan bibit melalui metode kultur jaringan dianjurkan. Pohon ulin terdapat di hutan dataran rendah (Hakim dan Prastyono, 2005).

Maika dalam Ernayati dan Leppe (2009), biji ulin memerlukan waktu yang lama kadang-kadang sampai satu tahun untuk berkecambah. Ada dua macam kesulitan yang timbul untuk permudaan jenis ulin. Pertama, bagaimana mendapatkan tanaman yang tumbuh secara bersamaan dengan biji-biji yang berkecambah sangat lambat dan tidak teratur. Kedua, bagaimana menjamin naungan yang diperlukan pada proses perkecambahan dan pertumbuhan awal dan seterusnya (Maika dalam Rahma, 2009).

KERAGAMAN GENETIK

Penelitian keragaman genetik ulin antar populasi telah dilakukan Rimbawanto dan Suharyanto (2005) dengan metode RAPD. Sumber populasi berasal dari 5 populasi yaitu TN Kutai, Meratus, S. Wain, Samboja, dan Lempake di Kalimantan Timur. Keragaman genetik yang dilihat berdasarkan persentase lokus polimorfik (PLP) paling banyak adalah adalah populasi Meratus dan Samboja (48 lokus atau 100%), sedangkan populasi yang mempunyai lokus polimorfik paling sedikit adalah populasi TN Kutai dan S.Wain (46 lokus, 95,8%). Rata-rata keragaman genetik 5 populasi adalah 0,3564, hal ini menunjukkan keragaman genetik populasi ulin di Kalimantan masih tinggi. Kecenderungan pola distribusi keragaman seperti ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian pada populasi yang berkawin silang seperti Shorea leprosula.

Berdasarkan jarak genetik Nei (1972) menunjukkan hubungan kekerabatan antara 5 populasi di Kalimantan Timur tersebut terbagi dalam 2 kelompok besar. Kelompok pertama terdiri dari satu populasi yaitu Lampake, sedangkan kelompok kedua terdiri empat populasi lainnya yaitu TN Kutai, Meratus, S. Wain, dan Samboja. Pola pengelompokan populasi dan jarak genetik memperlihatkan hubungan yang nyata dengan distribusi geografis populasi ulin (Rimbawanto dan Suharyanto, 2005).

Penelitian mengenai keragaman genetik ulin antar varietas juga dilakukan oleh Irawan (2005) di Propinsi Jambi. Dari hasil pengamatan ditemukan 4 varitas yaitu zwageri, ovoidus, exilis dan grandis yang diidentifikaasi dari bentuk biji. Varitas E. zwagery telah diakui oleh masyarakat setempat terbukti secara ilmiah. Variabilitas ini tidak hanya terbukti menggunakan analisis struktur morfologi tetapi juga analisis struktur molekuler. Pada hutan alam, struktur morfologi E. zwageri, mempunyai perbedaan yang signifikan dari bentuk daun, benih dan kulit batang, mereka dapat digunakan sebagai kunci identifikasi dari varitas E. zwageri.

Analisis keragaman genetik telah dilakukan dengan menggunakan Amplified Fragmen Length Polimorphism (AFLP). Keragaman genetik berdasarkan PLP yang diperoleh cukup tinggi. Fragmen polimorpik varitas tersebut adalah 53%. Analisis pengelompokan berdasarkan data AFLP menunjukkan grandis lebih dekat dengan exilis dan zwageri dekat dengan ovoidus. Hasil ini sesuai dengan observasi lapangan yang berdasarkan bentuk morfologi, khususnya benih dan bentuk daun (Irawan, 2005).

STATUS KONSERVASI

Ulin (Eusideroxylon zwageri ) merupakan salah satu jenis yang hampir punah sebagai akibat dari tingginya laju penebangan yang dilakukan secara legal maupun illegal oleh masyarakat maupun perusahaan pemegang HPH. Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993), jenis ini telah terancam punah. Sedang berdasarkan data IUCN (2000), jenis ini dikategorikan dalam kelompok yang rentan (vulnerable/VUA1cd+2cd) yaitu populasi mengalami penurunan lebih dari 20% selama 10 tahun. Penyebab utama keterancaman kepunahan adalah karena kerusakan habitat dan pemanfaatan yang tidak terkendali (Nugroho, 2010).

STRATEGI KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK ULIN

Menurut Siregar (2008) Pelaksanaan konservasi sumberdaya genetik suatu jenis harus dimulai dengan mengidentifikasi secara jelas apa tujuan konservasi tersebut. Tahap kedua adalah seleksi sumberdaya genetik yang akan dikonservasi berdasarkan pengetahuan yang tersedia tentang pola spasial dari variasi genetik. Selanjutnya memilih metode konservasi untuk melakukan pengawetan secara fisik. Tahap akhir program konservasi adalah regenerasi sumberdaya genetik. Penelitian Rimbawanto dan Suharyanto (2005) , dan Irawan (2004) mengatakan bahwasanya ulin di Kalimantan dan Jambi masih memiliki keragaman genetik yang tinggi. Pelaksanaan konservasi harus sesuai dengan tujuan konservasi untuk jenis endemik yaitu konservasi variasi maksimum (Siregar, 2008). Konservasi variasi maksimum dilakukan dengan cara konservasi terhadap keragaman genetik yang berpotensi penting pada program pemuliaan.

Strategi konservasi keragaman genetik ulin dapat dirancang berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rimbawanto, et. al (2006) dan Irawan (2005) Masing-masing propinsi dapat dianggap sebagai satu populasi besar, sehingga eksplorasi materi genetik ulin dalam rangka konservasi sumberdaya genetik dilakukan di tiap propinsi.

Kegiatan perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan dilaksanakan dalam tiga level yang terdiri dari level genetik, jenis, dan ekosistem. Kegiatan konservasi antara lain bertujuan untuk mencegah terjadinya penurunan keanekaragaman dan kepunahan di tiga level tersebut. Menurut Nugroho (2010), strategi konservasi in-situ maupun ex-situ ulin idealnya saling komplementer. Konservasi ex-situ merupakan back-up bagi konservasi in-situ. Konservasi ex-situ berfungsi untuk mendukung jenis target yang mungkin hilang berbagai sebab di areal konservasi in-situ. Konservasi ex-situ harus memperhatikan syarat-syarat tempat tumbuh (tanah) yang sesuai di mana ulin tumbuh pada sebaran alaminya.

Menurut Siregar (2008) Metode konservasi sumberdaya genetik yang dilakukan adalah konservasi insitu dinamis dan konservasi eksitu dinamis. Konservasi insitu dinamis dengan penanaman pengayaan bahan tanaman setempat pada hutan alam atau tempat tumbuhnya. Konservasi eksitu dinamis yaitu program pemuliaan dengan membuat tegakan benih provenans dan tegakan konservasi genetik.

Upaya konservasi exsitu sudah dilakukan oleh berbagai pihak, misalnya sejak 1997 masyarakat Desa tanjung Harapan Kalimantan Timur menanam tanaman ulin sebagai naungan pada tanaman kopi. PT Kiani Hutani Lestari, sejak tahun 1995-1997 pada batas petak dan jalur hijau sepanjang sungai. Pada tahun 2003 Balai Litbang kehutanan bekerjasama dengan PT.KEM telah menanam ulin seluas 10 ha (Balitbang Kehutanan Samarinda, 2004). Kegiatan pembangunan plot konservasi exsitu ulin juga dilakukan di Hutan Penelitian Sumberwringin, Bondowoso, Jawa Timur sejak Desember 2004 (Hakim dan Prastyono, 2005).

Demikian halnya konservasi insitu juga telah diupayakan oleh Pemerintah Kalimantan Timur melaui SK Kepala Dinas Kehutanan 522.21/005.79/DK-V/1991, tanggal 20 agustus 1981, dimana setiap HPH diwajibkan menunjuk tegakan pohon induk jenis ulin dengan luas minimal 100 ha (Balitbang Kehutanan Samarinda, 2004).

­­

KESIMPULAN

Sumberdaya genetik pohon terutama ulin saat ini terancam oleh berbagai aktifitas manusia, praktek manajemen hutan yang keliru, kebakaran hutan, illegal logging, dan lain-lain. Menurut IUCN ulin termasuk kelas rentan (vulnerable) yaitu populasi mengalami penurunan lebih dari 20% selama 10 tahun. Melihat kondisi tersebut harus dilakukan upaya konservasi mengingat ulin merupakan tanaman endemik Kalimantan dengan jenis kayu yang Kelas kuat dan kelas awet satu, yang sangat potensial untuk dipertahankan dan dikembangkan untuk menjaga keanekaragaman flora Indonesia.

Konservasi sumberdaya genetik merupakan suatu upaya dalam kerangka kerja strategi pemuliaan pohon. Usaha konservasi insitu dan exsitu harus dilakukan oleh semua pihak baik oleh masyarakat, pemerintah maupun perusahaan HPH. Selain upaya konservasi insitu dan eksitu, kegiatan aktifitas perusakan hutan harus dihentikan sebagai upaya penyelamatan habitat kayu ulin di alam.

DAFTAR PUSTAKA

Balitbang Kehutanan Kalimantan. 2004. Status Litbang Ulin (Eusideroxylon zwageri). Samarinda.

Barber CV, Matthews, E, Brown, D, Brown, TH, Curran, L dan Plume, C. 2002. The State of the Forest Indonesia. [Terjemahan] pdf.wri.org/indoforest_chap1_id.pdf

Fakhrurazi, M. 2009. Konservasi Pohon Ulin (Eusideroxylon zwageri) di kabupaten Hulu Sungai Tengah. www.dephut.go.id.

Hakim, L dan Prastyono. 2005. Konservasi Budidaya Ulin. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Pusat Litbang Hutan Tanaman Yogyakarta. Yogyakarta.

Hakim, Lukman. 2008. Variasi Pertumbuhan Empat Propvenans Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) Kalimantan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Bogor. Bogor.

Hakim, L, Prastyono dan Abdurrahman, S. 2005. Eksplorasi Ulin di Kalimantan untuk Konservasi Ex-situ. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Hutan. Vol.2 No. 1, April 2005.

Irawan, B. 2005. Ironwood (Eusideroxylon zwageri Teijsm.& Binn.) and its Varieties in Jambi, Indonesia. University of Gottingen. Gottingen.

Maika, MR. 2009. Teknik Produksi Bibit Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm dan Binn) Melalui Stek. www.forester-invd.com/index.

Nugroho, WN. 2007. Karakteristik Tanah pada Sebaran Ulin di Sumatera dalam Mendukung www.dephut.go.id/files/Agung.pdf.

Rimbawanto, A, Widyatmoko, AYPBC dan Harkingto. 2006. Keragaman Populasi (Eusideroxylon zwageri) Kalimantan Timur Berdasarkan Penanda RAPD. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Bogor. Bogor.

Siregar, IZ. 2008. Strategi Konservasi Sumberdaya Genetik. Bahan Kuliah Pascasarjana IPB. Bogor

Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar